Long Distance Relationship (LDR) memang seringkali menjadi momok yang menakutkan dalam sebuah hubungan. Tidak kuat menahan kangen. Selingkuh di tengah jalan. Cinta yang semakin hambar tanpa pertemuan. Masih banyak lagi alasan mengapa sebagian orang menghindari LDR.
Situasi ini menjadi lebih rumit bagi mereka yang sudah memiliki perasaan satu sama lain tetapi sebentar lagi akan dipisahkan oleh jarak, entah karena studi atau pekerjaan. Apakah dalam situasi seperti ini perasaan itu perlu dipertahankan atau dimatikan? Apakah hubungan seperti ini sebaiknya tetap dihentikan atau dilanjutkan sambil melihat bagaimana kelanjutannya? Bagaimana nanti kalau sudah berkomitmen untuk LDR tetapi ternyata gagal memertahankannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, hal terutama yang perlu dipertimbangkan adalah kejelasan pimpinan Tuhan. Alkitab mengajarkan bahwa jodoh ada di tangan Allah. TUHAN menciptakan Hawa bagi Adam tanpa meminta masukan dari Adam sedikitpun (Kej. 2:18, 22-23). Abraham mengutus hambanya untuk mencarikan jodoh bagi Ishak, anaknya (Kej. 24). Dalam semua proses pencarian ini akhirnya diketahui bahwa TUHAN sudah menyertai dan membuat upaya ini berhasil (Kej. 24:21, 27, 42, 50, 51, 56). Jika masing-masing calon pasangan sudah menggumulkan dengan serius dan meyakini bahwa keseriusan hubungan adalah pimpinan TUHAN, mereka sebaiknya tetap menjaga dan menumbuhkan perasaan, walaupun melalui LDR. TUHAN akan menyediakan anugerah-Nya yang cukup sepanjang perjalanan.
Bagaimana jika belum ada kejelasan tentang pimpinan TUHAN? Cara terbaik adalah melanjutkan hubungan. Jika tidak dilanjutkan, seseorang sukar untuk menguji apakah perasaan itu berasal dari Tuhan. Di masa depan juga mungkin akan timbul kekecewaan, terutama apabila masing-masing pihak kelak membandingkan pernikahannya. Entah perasaan itu merupakan petunjuk dari Tuhan atau tidak, hal itu sebaiknya digumuli melalui kelanjutan hubungan.
Walaupun demikian, kelanjutan hubungan ini perlu disertai dengan beberapa kesepakatan. Yang pertama, menetapkan harapan yang realistis. LDR jelas tidak ideal. Ada banyak keterbatasan dan halangan. Harapan terhadap pasangan tidak boleh berlebihan. Masing-masing mungkin memiliki kesibukan dan ritme kehidupan yang berlainan. Keadaan yang baru juga mungkin akan mengubah kebiasaan lama seseorang. Jarak yang jauh juga mungkin dapat memengaruhi perasaan seseorang. Intinya, harapan dalam LDR tidak boleh sama – apalagi melampaui – harapan dalam relasi yang biasa (atatp muka). Kunci dalam relasi seperti ini adalah saling memaklumi (Flp. 2:3-4). Masing-masing berusaha memahami (understand), dengan cara berdiri (stand) di bawah (under) orang lain. Masing-masing berusaha untuk melihat dari perspektif pihak lain.
Kedua, menyiapkan hati untuk kasus terburuk. Meletakkan harapan yang realistis saja tidak cukup. Walaupun ekspektasi sudah dikurangi, hal itu tetap belum tentu dapat dipenuhi. Ada banyak faktor X di depan yang tidak bisa diramal. Kemungkinan terburuk adalah hubungan akan kandas di tengah jalan. Masing-masing pihak harus berkomitmen bahwa seandainya terjadi perpisahan, mereka akan tetap menjadi sahabat yang baik. Perpisahan menjadi petunjuk dari Tuhan bahwa hubungan yang dijalani tidak sejalan dengan rencana-Nya. Kegagalan sebuah perjalanan kadangkala menjadi petunjuk pada perjalanan lain yang lebih sesuai dengan hati Tuhan (Kis. 16:6-10).
Ketiga, memaksimalkan kesempatan yang ada. Teknologi telah berkembang begitu rupa. LDR bisa dijalani melalui video call. Walaupun tetap terbatas tetapi bukan berarti tidak bisa dimaksimalkan. Tentukan jam-jam pertemuan wajib yang disepakati bersama. Pada waktu berbincang-bincang, diskusikan hal-hal yang benar-benar penting (iman, makna hidup, keluarga, masa depan, dsb.). Bukan berarti tidak boleh menikmati kebersamaan. Yang lebih penting adalah pengenalan dan penyesuaian, bukan kehebohan kebersamaan. Pendeknya, pertemuan harus berkualitas. Bukan sekadar berkuantitas.
Maria dan marta sering bersama dengan Yesus. Mereka memiliki kedekatan yang khusus. Bagaimanapun, Maria lebih pandai dalam memaksimalkan waktu. Dia suka mendengarkan perkataan Yesus (Luk. 10:38-42). Pada momen-momen terakhir kehidupan Yesus di dunia, Maria mengungkapkan kasihnya kepada Yesus dengan cara mengurapi kaki-Nya dengan rambutnya (Yoh. 12:1-8). Jadi, yang terpenting bukan seberapa lama kita bersama dengan seseorang, tetapi seberapa sungguh-sungguh kita mendengarkan isi hatinya.
Terakhir, memastikan bahwa ada jeda waktu yang cukup antara akhir LDR dan pernikahan. Seperti yang sudah diibicarakan di depan, LDR memiliki beragam keterbatasan. Kualitas pengenalan kadangkala tidak seperti yang diharapkan. Kecocokan juga belum sepenuhnya lulus ujian. Dengan menetapkan jeda waktu yang cukup antara akhir LDR dan pernikahan, masing-masing pasangan dapat melakukan pengenalan lebih mendalam. LDR adalah ujian, demikian pula dengan pertemuan langsung. Masing-masing menguji area yang berbeda. Soli Deo Gloria.