Kekristenan dikenal sebagai agama cinta kasih dan penuh perdamaian. Namun kita mungkin akan kaget ketika mendengar firman Kristus di Matius 10:34, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Apakah ini berarti Yesus mengajarkan pertentangan dan permusuhan? Tidak. Ada beberapa alasan, yaitu:
Pertama, konteks dekat ayat ini mengajar kita bahwa ketika Yesus berfirman bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai, tetapi pedang merujuk pada prioritas mengikut Yesus. Buktinya adalah di ayat 37, Ia berfirman, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Mengikut Yesus bukan sekadar beragama Kristen atau kolom agama di KTP diisi “Kristen,” tetapi mengikut Yesus sedang berbicara tentang fokus hidup pada Kristus. Ketika seseorang memusatkan hidupnya pada Kristus, maka siapa pun di luar Kristus (termasuk orangtua atau anak) yang berpotensi merebut Kristus dari takhta-Nya harus disingkirkan. Hal ini tidak berarti kita tidak perlu mengasihi dan menghormati orangtua (dan mengasihi anak). Yang ditekankan Yesus adalah fokus hidup. Urutan dalam mengikut Kristus harus jelas: pertama (terutama dan termutlak) adalah Kristus dan kehendak-Nya, kedua baru orangtua (dan anak). Membalikkan urutan ini dengan mendongkel Kristus dari takhta-Nya jelas adalah dosa dan tidak layak mengikut Kristus. Ini dikatakan Yesus sendiri di ayat 38, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” Dari sini, kita belajar bahwa mengikut Kristus pasti memerlukan harga dan harga itu adalah siap ditentang oleh anggota keluarga (ay. 21). Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus datang bukan membawa damai, tetapi pedang bukan berarti tujuan kedatangan-Nya adalah sengaja membawa pertentangan, tetapi itu adalah akibat kedatangan-Nya yaitu siap ditentang anggota keluarga (F. F. Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit, 143).
Kedua, di Matius 10:34 jelas tidak mengajarkan pertentangan karena di pasal-pasal sebelumnya dan di bagian lain di kitab Injil, Yesus mengajarkan tentang perdamaian. Misalnya, di Matius 5:9, Yesus berfirman, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Bahkan Injil disebut sebagai “Injil damai sejahtera” (Ef. 6:15) atau “berita pendamaian” (2Kor. 5:19). Ini semuanya menunjukkan bahwa Allah adalah Allah Damai Sejahtera yang meneruskan damai itu kepada umat-Nya dan menghendaki mereka untuk membawa damai sejahtera yang berasal dari Allah (Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit, 142). Hal ini berakibat pada dua orang yang dahulu saling bermusuhan yaitu orang-orang Yahudi dan non-Yahudi dipersatukan di dalam Kristus (Gal. 3:28).
Apakah kita sudah benar-benar mengikut Kristus? Saya tidak bertanya, apakah kita rajin ikut berbagai webinar (atau Zoominar) atau membaca Alkitab puluhan kali atau membaca ratusan buku teologi. Yang saya tanyakan: apakah kita sudah benar-benar mengikut Kristus? Tandanya: apakah Kristus sudah memerintah hidup kita sebagai Tuhan dan Raja? Saya bertanya kepada para orangtua yang membaca artikel ini: sudahkah bapak/ibu mendidik anak-anak Anda untuk menggenapkan kehendak Kristus bagi mereka atau apakah bapak/ibu masih mendidik (“memaksa”) anak-anak Anda untuk menuruti kehendak Anda dan mengabaikan kehendak Kristus? Ingatlah, Tuhan tidak ingin para pengikut-Nya mengikut-Nya setengah-setengah atau demi kesenangan sesaat, tetapi Ia ingin kita benar-benar me-Raja-kan Kristus. Amin.