Istilah “suam-suam kuku” dalam Alkitab hanya muncul satu kali (Why. 3:16). Gereja di Laodikia disebut sebagai jemaat yang suam-suam kuku. Jika tidak bertobat, Kristus akan memuntahkan mereka. Dari konteksnya sudah jelas bahwa sebutan ini bersifat negatif. Ini adalah teguran dari Kristus kepada jemaat-Nya.
Yang tidak terlalu jelas adalah makna dari sebutan ini. Tidak sedikit orang Kristen yang salah memahaminya. Pada umumnya mereka memahami suam-suam kuku sebagai sikap yang asal-asalan. Sikap ini mungkin bisa digambarkan melalui peribahasa “hidup segan mati tidak mau.” Tidak ada semangat dan kesungguhan. Mereka yang memegang pandangan ini berpikiran bahwa gereja seharusnya bersemangat melayani Tuhan. Gereja harus panas (baca: berapi-api), bukan suam-suam kuku.
Makna populer ini tampaknya perlu dipikirkan ulang. Konteks Wahyu 3:14-22 tidak memberi dukungan ke arah sana. Jika suam-suam kuku (negatif) dikontraskan dengan panas (positif), mengapa Kristus justru berkata: “Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!” (ayat 15b). Dari perkataan ini terlihat bahwa yang lebih baik daripada suam-suam kuku bukan hanya “panas,” tetapi juga “dingin.” Apakah itu berarti bahwa “dingin” adalah tidak melayani sama sekali? Tentu saja tidak! Tidak melayani adalah sesuatu yang negatif.
Ucapan Yesus di ayat 15a perlu dipahami dalam konteks geografi Laodikia pada waktu itu. Laodikia berada di antara kota Hierapolis dan Kolose. Yang satu menghasilkan air panas (air belerang) yang bagus untuk kesehatan, sedangkan yang satunya lagi menghasilkan air sejuk yang diperlukan dalam kehidupan. Jika “tidak dingin atau tidak panas” berkaitan dengan faktor geografis seperti ini, suam-suam kuku sebaiknya ditafsirkan sebagai keadaan yang tidak berguna: tidak bisa menyembuhkan maupun menyegarkan.
Mengapa jemaat Laodikia bisa menjadi tidak berguna (suam-suam kuku)? Jawabannya ada di ayat 17-18. Mereka merasa diri sudah cukup (3:17) walaupun mereka sebenarnya membutuhkan banyak kebaikan Kristus (3:18). Sesuai dengan kondisi jasmaniah penduduk Laodikia yang kaya secara finansial karena penghasil kain wol hitam terbaik di dunia kuno dan salep/minyak mata yang terkenal, Kristus menegur kecukupan rohani yang palsu dalam diri jemaat Laodikia. Mereka merasa diri kaya padahal miskin, berpakaian terbaik padahal telanjang, penyembuh kebutaan padahal mereka sendiri buta. Kristus lalu menawarkan solusi bagi semua persoalan ini secara cuma-cuma. Mereka miskin, telanjang dan buta sehingga tidak akan mampu membayar hal-hal berharga yang ditawarkan oleh Kristus.
Solusi bagi jemaat yang seperti ini adalah Kristus sendiri dan Kristus saja. Mereka perlu menyadari keberhargaan Kristus (digambarkan seperti emas yang teruji). Mereka perlu menyadari kehinaan dan keberdosaan mereka (digambarkan dengan ketelanjangan) dan menerima kesucian Kristus yang diperhitungkan kepada mereka (digambarkan dengan jubah putih). Mereka perlu menangisi cara pandang yang keliru (digambarkan seperti orang buta) dan menerima kebenaran Kristus. Pendeknya, mereka perlu terus-menerus menginginkan Kristus lebih dan lebih lagi!
Menggabungkan semua penjelasan di atas, kita sebaiknya mendefinisikan gereja yang suam-suam kuku sebagai jemaat yang merasa diri sudah cukup baik dan tidak menyadari kebutuhannya terhadap Kristus sehingga mereka menjadi tidak berguna bagi Kristus. Jadi, gereja yang suam-suam kuku bukan merujuk pada jemaat yang melayani tanpa semangat. Mereka justru memiliki percaya diri yang kuat (tetapi keliru). Merasa diri sudah cukup baik dalam segala hal.
Lalu bagaimana ciri-ciri konkrit gereja yang suam-suam kuku? Kita bisa memikirkan banyak poin sehubungan dengan definisi di atas. Dalam tulisan ini kita hanya menyoroti dua saja. Dua poin ini paling esensial.
Setiap gereja yang tidak memberitakan Injil Yesus Kristus dengan setia adalah gereja yang suam-suam kuku. Apakah Kristus selalu ditampilkan sebagai satu-satunya harta yang berharga melebihi semua berhala dan kekayaan dunia?
Jika kita mau mengakui dengan jujur, banyak gereja tergolong suam-suam kuku. Yang diberitakan hanya berkat dan mujizat Kristus belaka. Berkat Tuhan menjadi lebih penting daripada Pribadi Tuhan itu sendiri. Ironisnya, mereka justru menggunakan Kristus untuk memuaskan segala keinginan duniawi mereka terhadap kemakmuran, popularitas dan kenyamanan jasmani belaka.
Gereja yang tidak berani berbicara tentang dosa juga bisa disebut suam-suam kuku. Persoalan terbesar manusia adalah dosa. Ketakutan manusia terbesar adalah kematian (maut). Dua hal ini hanya bisa diselesaikan melalui pengurbanan Kristus yang sempurna dan beranugerah. Jika gereja tidak membicarakan dosa secara terus-menerus, kesadaran jemaat terhadap dosa juga akan menipis. Perasaan mereka menjadi tumpul. Pada akhirnya mereka tidak bisa melihat kebutuhan mereka yang mendesak dan terus-menerus terhadap Kristus.
Jika yang dicari oleh jemaat hanyalah kecukupan secara jasmani, mereka bisa mendapatkan semua itu tanpa Kristus. Iblis bisa menyediakan popularitas dan berkat jasmani (Mat. 4:1-11). Kerja keras bisa membuat orang kaya menjadi kaya (Ams. 10:4). Bahkan ketika semua kebutuhan jasmani sudah tercukupi, mereka merasa tidak lagi mmebutuhkan Kristus. Inilah jemaat yang suam-suam kuku yang siap dimuntahkan oleh Kristus!
Seberapa pentingkah Kristus bagi kita? Apakah Dia menjadi salah satu, nomor satu, atau satu-satunya harta yang berharga bagi kita ? Seberapa jauh kita menyadari keberdosaan dan kehinaan kita di hadapan Allah sehingga kita terus-menerus menyadari kebutuhan kita yang mendesak terhadap Kristus? Soli Deo Gloria.