Salah satu kisah yang cukup terkenal di dalam Alkitab adalah pergulatan Yakub dengan Allah. Pada suatu malam ada seorang pria bergulat dengan Yakub. Selama proses pergulatan ini Yakub akhirnya menyadari bahwa dia telah bergulat melawan Allah dan memang (Kej. 32:28, 30). Dari kisah ini kita juga tahu perubahan nama dari “Yakub” menjadi “Israel” (Kej. 32:28).
Peristiwa ini sangat menarik sekaligus membingungkan. Sangat menarik, karena Allah biasanya berbicara melalui mimpi atau malaikat. Tidak ada sentuhan ragawi yang begitu intens seperti dalam sebuah pergulatan. Membingungkan, karena yang menang dalam pergulatan ini adalah Yakub. Apakah kemenangan ini berarti Yakub lebih kuat daripada Allah? Apa makna kisah ini bagi pembaca Alkitab sekarang?
Untuk memahami kisah ini dengan baik, kita perlu mengingat seluruh kehidupan Yakub dari awal sampai kisah pergulatannya. Yakub memang pegulat sejak dari kandungan. Namanya berarti “pemegang tumit” (Kej. 25:26). Walaupun dia sudah dinubuatkan sebagai penerima hak kesulungan, dia tetap mengupayakan hal itu dengan tangannya sendiri. Dia menipu kakak (Kej. 25:29-34) dan ayahnya (Kej. 27:1-29).
Perjalanan hidup Yakub selanjutnya tetap berputar di sekitar konflik. Dia terpaksa melarikan diri karena akan dibunuh oleh Esau, kakaknya (Kej. 27:41-46). Di rumah Laban, pamannya, dia juga menghadapi pertikaian dengan ayah mertua (Kej. 29:23-27) dan saudara-saudara iparnya (Kej. 31:1-2). Melalui pimpinan Allah Yakub akhirnya melarikan diri dari Laban dan kembali ke tempat asalnya (Kej. 31:3). Keputusan ini meletakkan dia pada dua bahaya: di belakang ada Laban yang akan mengejar, di depan ada Esau yang memiliki dendam kesumat. Tidak heran jika Yakub sangat takut dan tertekan.
Menariknya, dalam keadaan tertekan seperti ini pun dia masih mengupayakan semua dengan tangannya sendiri. Dia sudah mengatur strategi untuk menyuap Esau supaya amarahnya reda. Dia memastikan bahwa orang terakhir yang akan dijumpai oleh Esau adalah dirinya. Seluruh budak dan keluarganya sudah disuruh maju ke depan mendahului dia. Dia memang pejuang sejati. Dia ingin memastikan segala sesuatu berada dalam tangannya.
Di tengah kondisi seperti inilah Allah menjumpai dia. Seperti sudah ditebak, Yakub tetap berusaha menunjukkan kegagahannya (bdk. Hos. 12:4). Pada akhirnya peristiwa ini sungguh-sungguh mengubahkan Yakub. Dia menyadari kelemahannya. Dia menangis dan memohon belas kasihan (Hos. 12:5). Dia belajar untuk kembali kepada Allah dengan sepenuhnya, yaitu belajar untuk menantikan Allah senantiasa dan tidak menentukan semua dengan usahanya sendiri (Hos. 12:7). Dia menyadari kasih karunia Allah secara penuh dalam hidupnya. Dia melihat Allah tetapi tidak mengalami kematian (Kej. 32:30). Dia tidak ingin ditinggalkan sendirian tanpa berkat Tuhan (Kej. 32:26-29). Kepincangannya menjadi bukti tentang kelemahannya, tetapi sekaligus kemenangannya. Inilah kemenangan yang sesungguhnya. Yakub akhirnya memahami dan menyandarkan diri sepenuhnya pada kasih karunia Allah. Dia perlu menantikan Allah dengan tenang.
Makna kisah ini bagi kita sekarang ada banyak. Kisah ini mengajar kita untuk meyakini janji Tuhan. Walau terlihat lambat tapi penggenapan janji Tuhan tidak pernah terlambat. Semua upaya manusia yang bertabrakan dengan kehendak Allah harus dihindari. Jalan keluar yang tidak benar seringkali menjadi jalan masuk kepada persoalan yang lebih besar. Kemenangan kita terjadi pada saat kita menyadari kelemahan kita. Saat kita menjumpai diri kita yang sebenarnya di titik yang paling rendah, di situlah kita telah menikmati Allah dengan semua keindahan-Nya. Meminjam istilah Paulus, ketika kita lemah, kita kuat (2Kor. 12:10). Dalam kelemahan kita kuasa Kristus menjadi sempurna (2Kor. 12:9). Soli Deo Gloria.